Naskah Drama dari Cerpen

Sabtu, 07 April 2012

Ibu Lili , guru bahasa indonesia saya menyuruh saya untuk mengubah sebuah cerpen menjadi suatu naskah drama . Dan saya ingin menge- share nya . sebelum saya ubah ceritanya menjadi sebuah naskah drama ala saya wkwkwk, judul cerpen tersebut adalah "Pulau Mayat" karya "Ganda Pekasi" begitu menurut buku cetak/paket bahasa indonesia kelas IX di sekolah saya . silahkan dinikmati ~ hahaha *ngaco


Desa Lamting yang Malang
Di suatu desa yang bernama Desa Lamting, hiduplah sekeluarga nelayan yang miskin . Marwan si  sang ayah, Zubaidah si Ibu, dan ada  Ibunya Marwan serta anak – anak Marwan . Beberapa hari belakangan ini, Marwan suka memanjat pohon kelapa yang tinggi di kampungnya . Di atas pohon kelapa itu Ia mendengar suara – suara yang aneh . Tengah malam kemarin ibu dan zubaidah sang istri terbangun .
Ibu                         : “Suara apa ini ?” (sambil mengucek – ngucek mata)
Zubaidah             : “Burung burung malam ini terus bernyanyi .”
Ibu                         : “Tumben sekali ya dah . Tak seperti biasanya . Perasaan ibu juga tak terlalu enak dah .”
Zubaidah             : “Iya bu . Zubaidah juga . Apa ini suatu pertanda dari yang Maha Kuasa ?”
Ibu                         : “Perasaan ibu mengatakan, sepertinya ada peristiwa besar yang akan terjadi .”
(Tiba – tiba Marwan datang dari kamar mandi dan membuat ibu dan istrinya terkejut.)
Marwan               : “Tapi peristiwa apa itu ?”
Zubaidah             : “Astaghfirullah , ayah ini mengejutkan saja!” (sambil tertawa kecil)
Ibu                         : “Iya, tiba – tiba datang seperti hantu .” (sambil tertawa kecil)
Marwan               : “Maafkan aku ibu . Maafkan aku istriku . Sesekali saja kok aku mengejutkan kalian . Sedikit    refreshing kan tidak apa .” (sambil tertawa) . Tadi pagi juga ayam  - ayam pada berlarian  dan mengeluarkan suara – suara aneh . Si belang dan si hitam juga ikut memanjat pohon kelapa . Kira – kira peristiwa apa yang akan terjadi ? Dan kapan peristiwa itu akan terjadi ?”
Zubaidah             : “Wallahu a’lam lah .”
Ibu                         : “Sudahlah nak, berdoa saja kepada Allah agar kita selamat dan selalu dalam lindungan-Nya .”
Marwan dan Zubaidah : “Amiin ya rabbal alamin .”

                                Keesokan harinya pukul empat dini hari, Marwan mencoba melaut untuk mencari ikan .
Marwan               : “Zubaidah, aku pergi melaut dulu ya . Ibu, aku pergi .” (Sambil menjinjing alat pancing)
Zubaidah             : “Hari ini ayah janganlah melaut dulu . Istirahat saja di rumah . Badanku tidak enak sejak malam tadi .” (Sambar ibu sambil menuju ke pintu)
Ibu                         : “Aku juga seperti itu . Sudahlah nak, janganlah kau melaut dulu . Firasat ibu tidak enak .”
Marwan               : “Sudah tidak apa . Biarkan saja aku melaut . kalau hari ini aku tidak melaut, mau makan apa kita besok ?”

Marwan tetap berkeras untuk melaut . Ketika Marwan bersama dua kawannya yang bernama Budi dan
Azwar tiba di tengah samudra, tiba – tiba mereka mendengar suara gemuruh . Mesin kapal tersengal – sengal seperti tersangkut pukat .
Budi                       : “Azwar, coba periksa dulu mesin kapalnya .”
Marwan               : “Iya. Coba periksa dulu . Mesinnya tersengal – sengal ni .”
Azwar                   : “Ya, baiklah . Akan ku periksa .”
(Selagi Azwar memeriksa mesin)
Marwan               : “Cuacanya sangat buruk sekali .”
Budi                       : “Iya . Tadi langit terlihat sangat cerah . Tetapi sekarang langit menjadi mendung dan mengeluarkan  suara gemuruh .”
(Tiba – tiba dari buritan kapal terdengar …)
Azwar                   : “Budi, Marwan ! Mesinnya sudah diperbaiki !” (sambil teriak)
Budi                       : “Ya sudah, kembali kesini !” (sambil teriak)
Marwan               : “Aku takut akan terjadi sesuat yang tak terduga .”
Budi                       : “Berdoa sajalah agar kita selamat hingga kembali ke darat .”
Azwar                   : “Iya, serahkan semuanya kepada Allah .” (berbicara sambil tersengal sengal)

                Beberapa detik kemudian air laut turun membentuk jurang yang sangat dalam dan perahu tersedot ke dasar bumi . Tetapi Tiba – tiba perahu dilemparkan ke atas dengan cepat . Setelah laut kembali tenang, Azwar,Budi dan Marwan bergegas pulang ke rumah .
Azwar                   : “Astaghfirullah . Innalillahi . Ya Allah selamatkanlah dan lindungilah kami semua hingga kembali ke darat.
Budi dan Marwan : “Amiin .”
Marwan               : “Mari bergegas pulang . Kita tidak tau kemana ombak itu pergi . Firasatku mengatakan ada kejadian besar di darat .”
Budi                       : “Baiklah, arahkan kapal menuju pantai .”
Azwar                   : “Siap !”

                                Pulau Nasi luluh lantak . Apa yang dikhawatirkan benar terjadi . Marwan berlari menuju 
rumahnya .
Marwan               : “Astaghfirullah ya Allah . Innalillahi . Astaghfirullah .” (Melihat dan memegang jenazah keluarganya sambil menangis histeris)
Pak Zulkifli         : “Sudahlah pak . Ikhlaskan saja apa yang sudah terjadi .” (Sambil menepuk – nepuk punggung Marwan)
Marwan               : “Pa..k , saya sungguh menyesal . Kenapa saya tidak menuruti nasihat istri dan ibuku tadi . Saya sungguh menyesal . Saya merasa bersalah . Saya merasa sayalah yang lebih baik mati daripada keluarga saya . Saya menyesal pa..k .Lebih baik saya mati !” (Berlari menuju pantai untuk bunuh diri)
Pak Bambang     : “Pak, jangan bertindak bodoh seperti itu ! Jika keluarga bapak tau kalau bapak melakukan hal bodoh seperti itu , pasti mereka semakin sedih .”
Mendengar kata – kata itu, Marwan pun berhenti berlari dan berpikir sejenak . Ia berpikir apa yang
dikatakan oleh bapak – bapak tersebut benar . Marwan pun mencoba untuk mengikhlaskan kepergian keluarganya . Setelah itu, Marwan ikut memakamkan ibu, istri, dan anak – anaknya, serta beberapa korban lainnya . Keuchik selaku RT di kampong tersebut tersenyum sesaat setelah mengecek warganya yang ternayata banyak yang selamat.
Keuchik                : “Ikhlaskan kepergian mereka . Tabahlah . Ini cobaan yang diberikan oleh Allah untukmu agar kamu semakin kuat, semakin sabar, semakin tawakal kepada-Nya.” (Sambil menepuk – nepuk punggung Marwan)
Marwan               : “Iya Keuchik . Saya mencoba untuk lebih bersabar . Saya tau ini cobaan dari Allah dan saya harus menerimanya dengan lapang dada .” (Sambil tersenyum kecil)

                                Setelah itu, Marwan pergi ke atas bukit . Ia memandang Banda Aceh di kejauhan . Tapi
terlihat begitu banyak perubahan pemandangan di sana. Tiba – tiba Marwan terkesiap, arus pantai membawa
beberapa sosok mayat yang merapat . Marwan turun dari bukit sambil berteriak memanggil orang - orang
sekampungnya  . Setelah kejadian itu, Marwan pergi untuk melihat nasib dua kawannya tadi yang ikut melaut
dengannya, sungguh senang hidup Azwar . Keluarganya masih utuh . Semuanya selamat . Tetapi berbeda dengan
Budi . Istri dan anak – anaknya telah tiada .
                                Di sore harinya, mayat mayat kembali terdampar . Jumlahnya semakin banyak dan setiap jam
Terus bertambah .
Keuchik                : “Sudah, kita hanya bisa berdiri memandang tanpa bisa melakukan sesuatu.”
Marwan               : “Sudah tidak sanggup lagi untuk menguburkan mayat – mayat tersebut .”
Ojik                        : “Kain kafan juga telah habis dipakai .”
Bone                     : “Keuchik . Keuchik selaku ketua RT di sini tak punye rencana lain kah ?”
Bobi dan Azwae               : “Iya Keuchik  .”
Marwan               : “Iya Keuchik . Tak mungkin kita tetap tinggal disini . Pulau ini pasti akan menjadi sarang penyakit bagi kita.”
Keuchik                : “Baiklah . Kita harus mengungsi .Besok pagi kita harus mengungsi ke pelabuhan menunggu perahu , siapa tahu ada perahu yang datang . Pulau ini tak ada makanan dan akan penuh penyakit .”
Bone                     : “Baiklah kawan – kawan . Sesuai yang dikatakan Keuchik tadi, besok kita mengungsi ke pelabuhan . Jadi jangan ada yang terlambat jika mau bersama – sama . Kita tidur di Meunasah ini . Baiklah, cepat tidur .”

                                Keeseokan paginya, hamper semua penduduk Desa Lamting mengungsi ke pelabuhan .Tapi
Marwan dan beberapa laki – laki lainnya tak hendak meninggalkan desa mereka, mereka termenung di
perbukitan dan melihat mayat – mayat terus terdampar . Dan akhirnya hanya tinggal Marwan seorang diri .
Lalu, Marwan melihat banyak anjing bermunculan dan menyerbu kea rah pantai . Perlahan – lahan bersama
anjing – anjing lainnya yang datang menyusul kemudian, Marwan turun ke pantai, tetapi anjing- anjing tak takut
padanya . Salah seekor anjing menerkam Marwan seperti babi buruan, Marwan berusaha melawan dan mereka
pun bergumul . Marwan sangat panik dan ketakutan . Marwan lalu berlari hingga berpuluh – puluh meter . Dan
akhirnya anjing – anjing itu berbalik kea rah pantai, dan Marwan tetap berlari menjauhi pantai.
                                Siang hari, Marwan bersama Keuchik dan penduduk desa lainnya menunggu di pelabuhan .
Keuchik                : “Kenapa dengan badanmu Marwan ?”
Marwan               : “Tadi dikejar – kejar sama anjing – anjing yang ada di pantai . Tapi anjing – anjing itu tetap menerkamku . Aduh gatal sekali luka bekas cakarannya ini .”
Azwar                   : “Sudahlah . Sabar dan berdoa agar ada perahu yang merapat .”

                                Saat matahari sebentar lagi tenggelam di ufuk barat, sebuah perahu di tengah laut kebingungan
hendak merapat .
Keuchik                : “Hei Bone . Sambut perahu itu . Agar dia merapat kesini .”
Bone                     : “Baik Keuchik .”

                                Perahu itu membawa sedikit makanan dan air bersih dari Banda Aceh, tanpa mesin . Tepat di saat
malam mulai turun, perahu kembali ke Banda Aceh . Perahu didayung perlahan . Semua orang tidak ada yang
berbicara . Hanyut dalam kesedihan mereka masing – masing . Marwan termenung memandangi pulau tempat
tinggalnya yang penuh dengan mayat yang semakin jauh di belakang .
THE END

0 komentar: